Bdeniw: Perjalanan Seorang Bipolar Disorder Part 2
Bab 2: Ketika Keanehan Itu Mulai Terlihat
Masa sekolah menengah atas di SMA Negeri 2 Depok seharusnya menjadi masa-masa penuh cerita indah bagi remaja seusia 15 tahun. Namun, bagiku, itu adalah awal dari semua cerita. Di sekolah ini, aku mulai menjadi pribadi yang berbeda. Tak seperti waktuku di bangku sekolah menengah pertama yang lebih banyak menyendiri, di sini bertemu teman-teman baru, guru-guru yang menginspirasi, mencoba membuka diri, berteman dengan siapa saja, tetapi juga mulai menyadari bahwa ada sesuatu dalam diriku yang berbeda.
Awalnya memang tidak menyadari apa yang salah. Yang aku tahu, ada hari-hari ketika aku merasa sangat bersemangat, istilah saat ini On Fire, bahkan lebih dari siapa pun. Aku bisa belajar sepanjang malam tanpa rasa lelah dan mendiskusikan segala hal dengan energi tanpa batas. Namun, di hari lain, aku menjadi sangat murung, mudah tersinggung, dan merasa dunia begitu berat untuk dijalani.
Di kelas matematika, Bu Susi, guru yang terkenal tegas tapi penuh perhatian, sering memerhatikanku dengan saksama. Kebetulan, beliau juga wali kelasku, kelas 1-6.
“Deni, coba kerjakan soal ini di papan tulis,” katanya suatu pagi di kelas jam pertama.
Aku melangkah ke depan, dengan percaya diri yang luar biasa, meskipun di dalam hati aku tahu energiku terlalu tinggi hari itu. Aku menjelaskan setiap langkah pengerjaan soal itu dengan detail dan cepat, mungkin terlalu cepat sampai banyak yang tak paham apa yang kukatakan.
“Luar biasa,” Bu Susi tersenyum. “Kamu hebat, Deni. Tapi kamu harus lebih tenang. Tidak semua orang bisa mengikuti kecepatanmu.”
Aku hanya tertegun kemudian mengangguk, tapi dalam hati aku merasa bingung. Mengapa aku selalu merasa seperti sedang dikejar sesuatu?
Lalu ada Bu Iit, guru kimia yang sabar dan penuh dedikasi. Beliau sering berbicara padaku setelah jam pelajaran selesai.
“Deni, kamu punya potensi besar,” katanya suatu hari. “Ibu tahu keadaan keluargamu tidak mudah, tapi kamu jangan menyerah. Kalau kamu butuh bantuan, cerita ke ibu, ya...”
Ucapan siang dan mendung itu menghangatkan hati, tetapi aku tidak tahu bagaimana menjelaskan apa yang sebenarnya aku rasakan. Bagaimana mungkin aku menjelaskan bahwa terkadang aku merasa seperti bisa melakukan segalanya, tetapi di saat lain bahkan untuk bangkit dari tempat tidur pun terasa mustahil?
Di sela-sela pelajaran, aku kadang berbicara dengan teman-teman seperti Andi, Yuni, dan Dian. Mereka bukan teman dekat, tetapi cukup sering mengobrol denganku.
“Den, kamu kok kadang bersemangat banget, kadang kayak pendiam gitu?” tanya Andi suatu hari.
Aku tersenyum kecil, mencoba mengabaikan pertanyaan itu. “Ah, mungkin aku cuma capek,” jawabku singkat.
Yuni menimpali, “Iya, aku juga perhatiin. Tapi kadang kamu kayak jenius banget, lho. Waktu presentasi kimia minggu lalu, aku sampai bingung kamu dapet energi dari mana.”
Dian, temanku dari awal masuk SMA hanya tertawa kecil. “Iya, tapi kayaknya emang itu Deni. Punya gaya sendiri.”
Mendengar itu, aku merasa lega sekaligus cemas. Keanehan dalam diriku mulai terlihat, dan aku takut orang-orang akan melihatnya sebagai sesuatu yang salah.
Hari-hari menjadi pelajar sma menjadi awal di mana aku mulai memahami bahwa diriku tidak seperti kebanyakan orang. Fase-fase mania dan depresi itu perlahan membentuk pola, meskipun saat itu aku belum tahu namanya. Aku hanya tahu bahwa aku berbeda. Untungnya, ada guru-guru seperti Bu Susi dan Bu Iit yang selalu memberiku dorongan, seolah-olah mereka tahu aku sedang berjuang dalam sunyi.
Namun, perjuangan ini baru dimulai. Di tengah pujian dan perhatian dari beberapa orang, aku masih menyembunyikan bagian gelap dalam diriku—sebuah pergulatan yang akan terus berlanjut di bab-bab berikutnya.
No comments:
Post a Comment